Ketidaktransparanan dalam proses pengelolaan anggaran, pengambilan keputusan, dan pelaporan kegiatan dapat menciptakan ruang bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan korupsi. Korupsi sendiri bukan hanya soal uang yang dicuri, tetapi juga tentang kepercayaan publik yang dirampas. Ketika informasi disembunyikan atau dipersulit untuk diakses, masyarakat tidak memiliki alat untuk memantau dan mengontrol jalannya pemerintahan atau organisasi tersebut.
Salah satu contoh nyata dari ketidaktransparanan adalah penyalahgunaan dana publik tanpa pertanggungjawaban yang jelas. Proses tender yang tidak terbuka, Pengadaan barang secara sembunyi-sembunyi, laporan keuangan yang tidak dipublikasikan, atau data yang sengaja diubah, menjadi sinyal kuat adanya niat buruk untuk memperkaya diri dengan cara ilegal. Jika dibiarkan, praktik seperti ini tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan dan memperburuk kualitas pelayanan publik.Oleh karena itu, transparansi harus menjadi prinsip yang dijunjung tinggi dalam setiap aspek pengelolaan organisasi dan pemerintahan. Sistem monitoring, audit yang independen, dan keterbukaan informasi adalah beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mencegah niat serta aksi korupsi. Dengan demikian, ketidaktransparanan tidak lagi menjadi pintu masuk bagi korupsi, melainkan sebuah budaya akuntabilitas dan integritas yang terwujud.
Kesimpulannya, ketidaktransparanan bukan hanya tanda adanya niatan mencuri atau korupsi, tetapi juga merupakan ancaman serius terhadap kepercayaan dan stabilitas sosial. Untuk menghindari hal tersebut, diperlukan komitmen kuat dari semua pihak agar segala proses berjalan dengan jelas, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan. Transparansi adalah kunci utama dalam membangun pemerintahan dan organisasi yang bersih, handal, dan dipercaya masyarakat.
@arq