Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan
dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur'an sendiri dalam surat
al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan
penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut.
Mengapa hasud itu sangat berbahaya?
Pertama, bermula dari ketidaksenangan terhadap kebahagiaan
seseorang, biasanya hasud lantas diiringi dengan keinginan mencelakakan orang
tersebut.
Kedua, ia merupakan serangan sepihak, tanpa orang yang dihasud tahu
kapan dan dari mana asalnya serangan. Serangan sepihak seperti ini tentu lebih
bahaya, karena pihak yang diserang tidak punya persiapan untuk balas melawan
atau bertahan. Serangan di sini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat
fisik, tapi bisa juga berujud fitnah.
Ketiga, di samping berbahaya bagi orang lain, hasud adalah sumber
kesengsaraan bagi diri penghasud. Rasulullah bersabda: "Jauhilah olehmu
semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sebagaimana api
melalap kayu bakar yang kering." Ini artinya, kebaikan-kebaikan yang kita
lakukan tidak ada artinya jika kita masih suka menghasud.
Jelasnya demikian: karena hasud itu merupakan rasa ketidaksenangan
atas kebahagiaan orang lain, dan bahkan bisa diiringi dengan tindakan yang
mencelakakan orang tersebut, maka sebenarnyalah hasud itu membuktikan bahwa
kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan itu hanya bohong-bohongan belaka.
Karena hati kita ternyata masih menyimpan keinginan (bahkan rencana-rencana)
mencelakakan orang lain. Hasud, dengan ungkapan lain, adalah membangun
kebahagiaan diri kita di atas kesengsaraan orang lain, dan sebaliknya,
kesengsaraan diri kita atas kebahagiaan orang lain. Sekarang yang terpenting
mengetahui kenapa sampai timbul hasud (iri, dengki, dan semacamnya)? Sebab
utama munculnya hasud adalah ketiadaan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah
yang kita terima. Kita selalu saja beranggapan "the grass over the fence
always looks greener" (rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih
hijau), orang lain senantiasa lebih banyak kenikmatannya dari kita. Akibatnya
muncul rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri disertai iri, dengki, lalu
hasud. Ini senada dengan penegasan Allah : "Dan ingatlah ketika Tuhanmu
sekalian menegaskan, jika kamu benar-benar bersyukur maka pasti Aku akan
tambahi (karunia) bagi kamu, dan jika kamu benar-benar ingkar maka sesungguhnya
azab-Ku amat pedih." (QS. Ibrahim/14:7) Kalau kita pandai-pandai
mensyukuri nikmat yang kita terima maka kenikmatan akan terus bertambah, dan
sebaliknya, kalau tidak kesengsaraan terus bertambah. Baik kenikmatan dan
kesengsaraan di sini tidak harus langsung berujud materi, tapi rasa, sikap, dan
nuansa batin. Kita sepenuhnya sadar, siapapun tidak akan sukses dunia-akherat
tanpa rasa percaya diri, optimis, bahagia/senang (atas nikmat yang kita terima
atau yang diterima orang lain), semangat, dan semacamnya. Dan yang menjadi
pangkal kegagalan adalah adanya penyakit-penyakit batin: rasa tidak percaya
diri, pesimis, iri, dengki, dan semacamnya. Yang terakhir, teruslah berdoa
mohon ampunan Allah, mohon agar dikaruniai ketulusan, mudah mensyukuri nikmat
yang kita terima dan diterima orang lain, agar dihindarkan dari rasa/sikap
dengki, iri, hasud, dan sikap-sikap negatif lainnya, dan sebaliknya agar
dikaruniai sikap-sikap positif. Perlu saya tegaskan, doa itu tidak harus
dipanjatkan dengan bahasa Arab, tapi yang penting adalah kita tahu apa yang
kita panjatkan disertai hati khusyuk dan memelas. Allah Maha Tahu apa yang
terlintas dlm hati kita.
Tentang kesabaran, "kesabaran" itu menempati spektrum
yang luas. Sabar atas cobaan dan penderitaan, sabar atas datangnya musibah,
sabar menjalani program-program yang telah direncanakan sampai mencapai target,
sabar menunggu teman, dll. Singkatnya, kesabaran itu tidak hanya musti
dikerahkan pada saat-saat tertimpa duka saja, tapi juga saat-saat suka. Kita
perlu kesabaran ketika mengalami saat-saat suka agar kita tidak terlena dengan
kesuka-riaan kita. Dan perlu diketahui, kesabaran itu adalah sikap yang amat
terpuji. Nabi Muhammad saw sendiri dalam sebuah ayat diperintahkan untuk
bersabar dan dilarang memohon pada Allah untuk menyegerakan siksa bagi
musuh-musuhnya: "Maka bersabarlah kamu seperti sabarnya para Rasul yang
mempunyai keteguhan hati dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi
mereka." (QS. 46:35) Dan banyak ayat-ayat lain yang menegaskan betapa
pentingnya sikap sabar itu. "...dan bersabarlah, sesungguhnya Allah
beserta orang-orang yang sabar." (QS. 8:46) "Dan bersabarlah, karena
sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
kebaikan." (QS. 11:115) "Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah
kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih
hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa
yang mereka tipu dayakan." (QS. 16:127) "Bersabarlah atas segala apa
yang mereka katakan." (QS. 38:17) "Maka bersabarlah kamu, karena
sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan
bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi." (QS.
40:55) Setelah tahu bahwa kesabaran itu sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak,
perlu diketahui pula apa sih kesabaran itu? Kesabaran adalah kesadaran untuk bertindak
secara kontinyu atau terus-menerus sesuai logika dan agama. "Kesadaran
untuk bertindak" berarti bertindak dengan sadar. Tindakan tidak sengaja
atau di luar kesadaran tidak bisa disebut kesabaran. "Kesadaran untuk
bertindak" juga berarti tidak diam atau vakum, karena kevakuman itu
sendiri adalah tidak baik. Bahkan diam saja sementara zaman terus berubah itu
sama saja dengan kemunduran. Jadi, "Kesadaran untuk bertindak secara
kontinyu sesuai logika dan agama" berarti tekad untuk bertindak secara
sadar dan kontinyu sesuai logika dan norma-norma agama dalam segala
situasi-kondisi dan kapanpun. Manakala kontinyuitas itu terputus, otomatis
kesabaran menjadi terputus. Ini juga menunjukkan bahwa kesabaran sesuai ajaran
agama kita dilakukan dengan tanpa batas, kita harus bersabar tanpa mengenal
batas. Jangan semata karena motor kita dicuri lantas kita menggebuki pencurinya
sampai mati; jangan karena kebandelan anak kita menghajarnya habis-habisan;
jangan karena tahu ada acara yang lebih menarik kita tinggalkan janji; jangan
karena sang kekasih meninggalkan kita lantas kita putus asa; dll. Dalam
kondisi-kondisi seperti itu, kapan kesabaran hilang, otomatis emosi/amarah
tidak terkontrol merasuk, lantas mendorong kita melakukan hal-hal negatif.
Memang, mustahil manusia terlepas total dari emosi (hanya berlandaskan logika
dan agama) , sehebat apapun dia. Persoalannya bukan kita hendak membebaskan
diri dari emosi, tapi mengendalikannya agar kita termotivasi berbuat hal-hal
positif. Lantas, bagaimana kita bisa berlaku sabar? Kita akan bisa berlaku
sabar setelah mengetahui apa sebab utama ketidaksabaran, dan setelah tahu kita
mau mengatasinya. Tiada lain adalah faktor atau sebab utama ketaksabaran adalah
ketidakmauan atau ketidakmampuan berfikir panjang dan ketidakmauan atau
ketidakmampuan mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian yang dihadapinya.
Untuk mengatasinya,
PERTAMA kita harus membiasakan diri berfikir panjang mengenai
sebab-akibat yang berkaitan dengan tindakan yang akan kita lakukan. Kita bikin
daftar panjang: andai saya begini kira-kira apa yang akan terjadi, lantas akan
berdampak apa.. terus apa...terus apa, dst; seandainya saya begitu kira-kira
apa akibatnya, lantas akibat ini akan membuahkan apa.. lalu apa...lalu apa,
dst. Kemauan berfikir seperti ini akan membuat kita tahu apa yang seharusnya
dan sebaiknya kita lakukan. Kita bikin skala prioritas: mana yang harus
dikerjakan lebih dulu, lalu yang harus berikutnya, dst. Sebab, tidak mungkin
kita bisa bersabar tanpa mengetahui bahwa apa yang seharusnya kita perbuat itu
baik.
KEDUA, kita harus pandai-pandai mengambil hikmah dari kejadian yang
menimpa kita. Kalau tertimpa kesedihan jangan lantas kita lupa daratan,
demikian pula kalau dikaruniai nikmat yang luar biasa. Tapi ambillah hikmah
atau pelajaran dari sebuah kejadian. Misalnya sepeda motor kita dicuri orang,
maka setidaknya hikmah itu berupa kesadaran "betapa nikmatnya orang
memiliki sepeda motor, bisa ke sana kemari dengan cepat, bisa bekerja dg waktu
yang sangat efisien." Munculnya kesadaran seperti ini adalah sebuah nikmat
pula, yang boleh jadi memicu kita untuk bekerja lebih baik di masa-masa
mendatang. Itu hikmah yang paling minim kita rasakan setelah hilangnya sebuah
kenikmatan. Perlu diketahui, kebanyakan orang itu tidak menyadari adanya sebuah
kenikmatan kecuali setelah hilangnya kenikmatan tersebut. Juga kebanyakan orang
merasa harus bersabar setelah mengalami keadaan sulit. Namun hendaknya kita
jangan seperti kebanyakan orang itu. Tapi galilah hikmah-hikmah lainnya yang
intinya menuntut kita untuk berbuat lebih baik. Bila kehilangan motor, kita
telusuri sebab akibatnya: oh, salah sendiri saya tidak menguncinya; oh, salah
sendiri saya terlalu lama meninggalkannya; oh salah sendiri saya tidak
menitipkannya di tempat penitipan yang aman. Kita gali semua
kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, lantas kita bertekad agar
keteledoran-keteledoran itu tidak terulang di waktu mendatang. Sampai kita pada
kesadaran bahwa kebaikan atau kenikmatan itu adalah kesabaran itu sendiri.
Pernah ada seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya
hilang dan badan saya sakit." Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan)
itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak
sakit. Sebab, jika Allah itu memang mencintai seorang hamba maka Allah menurunkan
cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran." Dalam hadis lain, Nabi
bersabda: "Besok di hari Kiamat didatangkan orang yang paling banyak
kenikmatan duniawinya, lantas dimasukkanlah orang itu sebentar di neraka dan
dikeluarkan dalam keadaan hangus terbakar, setelah itu ditanya: 'Apakah selama
kamu di dunia selalu mendapati kenikmatan duniawi?' Jawabnya: 'Tidak. Saya
selalu menemui cobaan sejak saya tercipta.' Dan didatangkan juga orang yang
paling berat cobaan hidupnya di dunia, lalu dimasukkan ia ke surga sesaat dan
dikeluarkan dalam keadaan bersinar laksana bulan purnama, lantas ditanya:
'Apakah selama di dunia kamu selalu tertimpa cobaan?' Jawabnya: 'Tidak. Saya
senantiasa mengalami kenikmatan sejak saya tercipta.'" Kedua hadis itu
menegaskan bahwa kebaikan/kenikmatan itu tidak identik dengan sesuatu yang
mengenakkan, seperti harta benda. Tapi kebaikan/kenikmatan adalah kesabaran itu
sendiri. Sebab andai saja kita kaya raya, maka itu berarti cobaan: apakah kita
bisa dg sabar membelanjakan harta di jalan yang benar? Bila dikaruniai ilmu
yang tinggi, maka apa kita akan kontinyu mengamalkan ilmu demi kebenaran? Bila
dikaruniai fisik sempurna, sehat tidak kurang suatu apa, maka apakah kita akan
senantiasa menggunakan kesehatan tersebut untuk hal-hal yang manfaat?
Pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti inilah yang perlu kita bisikkan
terus-menerus dlm hati dan pikiran kita. Demikian sekelumit nasehat ini, semoga
bermanfaat bagi saya, Anda, dan saudara-saudara kita yang lain. Tulisan singkat
ini sama sekali tidak menyarankan agar meninggalkan kenikmatan dunia. Tapi
adalah penegasan bahwa kita harus bekerja sebaik-baiknya di bidang
masing-masing. Kewajiban bekerja itu bukan semata untuk menumpuk harta, tapi
untuk mencari harta yang harus (senantiasa/kontinyu) kita gunakan
sebaik-baiknya. Kewajiban menuntut ilmu setinggi mungkin tidak hanya agar kita
menjadi pintar (apalagi sekedar mendapat gelar), tapi agar senantiasa bisa
memanfaatkannya untuk kebaikan.
Arif H, http://www.pesantrenvirtual.com.