“Shalat
adalah cahaya, sedekah adalah bukti, dan sabar adalah sinar”.

Rasulullah
saw mencintai harapan yang baik. Setiap harapan yang baik akan membawa pelakunya
ke arah kebaikan. Dan ketika suatu organisasi terbentuk atas dasar harapan yang
baik, sudah jelas akan membawa penggeraknya ke arah kebaikan. Apalagi wajihah
dakwah yang sudah jelas-jelas berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, yang hasil
akhirnya tak lain dan tak bukan adalah kebaikan itu sendiri. Namun di dalam
proses berjalannya tentu saja tidaklah penuh dengan kebaikan-kebaikan yang
‘nyata’. Kebaikan yang ada akan tersembunyi di balik setiap cobaan dan
rintangan yang sengaja diciptakan Allah swt untuk menyadarkan pelaku kebaikan
untuk melihat lebih jauh. Kebaikan apa saja yang ada disekitarnya, dan kebaikan
apa saja yang akan membawa berjuta-juta kebaikan yang lain. Untuk itu,
dibutuhkan evaluasi secara kesinambungan terhadap beberapa individu atau
semuanya di dalam dan di luar barisan, dalam rangka komitmen terhadap Islam.

Proses
evaluasi meliputi dua sisi, yaitu :
1. Penilaian
tentang aspek-aspek positif.
Hal
itu terlaksana dengan menilai integritas moral seseorang, memujinya pada suatu
sisi baik secara non formal. Terkadang pujian diperlukan untuk memotivasi
seseorang dalam bergerak. Dianjurkan memuji atas keberanian dan kelebihan yang
ada padanya, sekiranya terhindar dari fitnah. Namun demikian, pujian yang
dianjurkan bukanlah pujian yang berlebihan yang dapat mendatangkan ujub dan
ghurur. Adakalanya pujian juga diberikan dengan tujuan mencegah saudara dari
rasa rendah dan tak berdaya. Sehingga dapat memicu semangat dan akselerasi
dalam dakwah. Pujian juga bisa dikatakan penghargaan atas perbuatan baik
seseorang.
Namun
sebaiknya pujian diberikan kepada seseorang yang secara psikologis
‘membutuhkannya’ untuk dapat bergerak, sampai timbul dalam dirinya keikhlasan
‘sejati’.
2.
Menilai kelemahan.
Menilai
kelemahan dilakukan dengan menyebutkan beberapa kelemahan atau keburukan
seseorang dalam masalah kejiwaan atau ruhani, atau mengkritik tindakan
berdasarkan dugaan yang kuat.
Menyebut
cela bukanlah ghibah pada enam hal : (1) orang teraniaya oleh penguasa zhalim;
(2) meminta bantuan untuk merubah kemungkaran dan pelaku maksiat;(3)
memperingati ummah dari perbuatan jahat; (4) menyebut keburukan pelaku fasiq
atau bid’ah secara terang-terangan; (5) mengenalkan seseorang bukan dengan
tujuan menghinanya dan (6)menyebutkan keburukan seseorang tanpa menyebut nama
untuk meminta fatwa agar bisa menasehatinya.
Namun
yang ada sekarang bagai jauh panggang dari api. Wajihah dakwah yang seharusnya
mendakwahkan hal ini kepada ammah, justru sering terjebak dalam rutinitas
ghibah.
Misalnya,
ketidaksepakatan dalam sesuatu hal akan membawa ikhwah berghibah,
menjelek-jelekkan saudaranya sendiri (yang digambarkan Allah seperti memakan
daging saudara sendiri). Hal ini ‘selalu’ kita lakukan dengan alasan curhat
atau apalah namanya. Namun hasil dari curhat itu sendiri justru memperlihatkan
‘kebencian’ yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Hasil curhat itu sendiri
(terkadang) malah menambah jumlah saudara yang membenci, karna ‘termakan hasut’
dari pengghibah.
Akan
lebih baik kan apabila kita tidak menyepakati sesuatu, mencari cara yang paling
save menurut kita? Aman untuk kedua belah pihak, dari berbagai sisi. Ada yang
memilih menyampaikan langsung (syarat : tidak berkhalwat); ada yang lebih
memilih lewat surat (karna tidak berani bicara langsung); atau melalui
sindiran, sikap atau yang lain, yang penting ketidaksepakatan memiliki sarana
untuk dapat disalurkan kepada saudara yang tidak disepakati. Satu hal yang
penting, adalah etika dalam penyampaian. Akhlak dalam mengkritik dan dikritik
menurut Islam mestilah terjaga.
“Shalat
adalah cahaya, sedekah adalah bukti, dan sabar adalah sinar”.
Bagaimana
bisa orang yang memiliki cahaya, bukti dan sinar tidak mengetahui hakikat
sesuatu melalui makna tutur kata...
Bersikap
tegas dalam prinsip aqidah dan bertoleransi serta bersabar atas apa yang tidak
disepakati sesama saudara. Terkadang kita malah lebih sering bertoleransi pada
ammah dengan alasan kefahaman mereka, hal ini penting. Namun yang tak kalah
penting, mengapa dengan saudara
seperjuangan, kita malah bersitegang urat leher dan berjidal untuk hal-hal
‘remeh’ seperti egoisme pribadi, prinsip pribadi, dan tetek bengek lainnya.
Kesabaran
bukti keimanan. Iman yang kan menjawab seluruh fitnah. Jangan banyak menyangkal
dan repot menjawab untuk membersihkan diri dari tuduhan. Karna sangkalan
bukanlah sebuah jawaban atas permasalahan, malah sangkalan hanya akan membuka
fakta lebih nyata dari sebelumnya.
Semoga
ALLAH SWT berkenan mengakhiri hidup kita dengan Iman dan Taqwa khususnya untuk
memasuki salah satu pintu Jannah-NYA bersama rombongan para syuhada. Amin.