Siapa saja
yang mendapatkan harta yang haram karena cara mendapatkannya, itu tidak lepas
dari tiga kemungkinan:
Pertama: Boleh jadi, harta haram
tersebut didapatkan dari penjualan jasa, dan orang yang menyerahkan harta haram
itu telah mengambil manfaat dari jasa yang haram tersebut, misalnya: upah
yang didapatkan penyanyi, uang pembayaran untuk pelacur, dan lain-lain.
Jika demikian
kondisinya maka harta haram tersebut tidak boleh dipulangkan kepada orang yang
memberikannya. Wajib bagi orang yang mendapatkan harta tersebut untuk
menyedekahkannya untuk dirinya sendiri. Semoga hal itu bisa menghapus
kemaksiatan yang telah dia lakukan. Di samping itu, terdapat kewajiban untuk
bertobat dari dosa yang menjadi penyebab sehingga dia mendapatkan harta haram
tadi.
Kedua: Harta haram yang didapatkan
dari orang lain, dengan cara tukar-menukar dengan hal yang haram, misalnya:
berbagai transaksi yang haram, membungakan uang kepada orang yang berada dalam
kondisi kepepet. Harta haram semisal ini wajib dikembalikan kepada pemiliknya,
jika si pemilik masih dijumpai, atau harta tersebut dikembalikan kepada ahli
waris si pemilik tadi. Dengan demikian, bebaslah orang tersebut dari kewajiban.
Ketiga: Memegang harta milik orang lain
dan sudah tidak lagi mengetahui keberadaan orang tersebut, misalnya:
barang-barang titipan, agunan utang, atau harta yang didapat dengan cara
merampas.
Harta-harta
tersebut kita pegang, namun kita tidak mengetahui pemilik atau ahli warisnya.
Ada dua pilihan langkah untuk membebaskan diri dari harta orang lain, pada
kondisi seperti ini:
1. Harta
tersebut disedekahkan atas nama pemilik barang, karena menyerahkan barang
tersebut kepada pemiliknya adalah suatu hal yang tidak mungkin dilakukan secara
realita. Adapun pemanfaatan barang tersebut, juga merupakan suatu hal yang
tidak mungkin dilakukan secara syariat. Padahal, tujuan pokok harta adalah
dimanfaatkan.
Dalam
kondisi ini, kita tidak bisa membayangkan cara untuk bisa memanfaatkan barang
tersebut, kecuali dengan cara menyedekahkannya atas nama si pemilik barang.
Nilai dari sedekah ini tidaklah hilang, selama pemilik sebenarnya belum
diketahui. Jika pemilik atau ahli waris bisa ditemukan, setelah harta tersebut
disedekahkan, maka pemilik barang memiliki dua pilihan: menerima sedekah yang
telah dilakukan sehingga pahala sedekah itu untuk pemilik barang, ataukah tidak
setuju dengan tindakan "sedekah" tersebut sehingga pahala sedekah itu
untuk orang yang menyedekahkannya dan nilai dari harta tersebut dikembalikan
kepada pemilik sebenarnya.
2. Memberikan
barang-barang tersebut kepada kas negara, lalu pemerintah memanfaatkannya untuk
berbagai kepentingan umum.
Uraian di
atas adalah rincian hukum untuk harta yang berstatus haram karena cara
mendapatkannya. Adapun harta yang berstatus haram karena status bendanya itu
sendiri, seperti: bangkai, darah, daging babi, dan khamar maka hukum
"haram" itu melekat pada bendanya, sehingga benda haram tersebut wajib
dijauhi dalam kondisi apa pun.
Sumber: Majmu Al-Fawaid wa Iqtinash
Al-Awabid, faidah ke-37, hlm. 42--43, karya Ibnu Sa’di, terbitan Dar
Al-Minhaj, Kairo, cetakan pertama, 1424 H.
Artikel
www.PengusahaMuslim.com