Senin, 27 April 2015

GHIBAH dan DUSTA



Ghibah dan dusta merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan manusia. Seringkali, di manapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain) menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan kepada setiap insan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Dalam salah satu ayatnya Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.

Ayat di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan (baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.
Adapun dari segi istilah, ghibah adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.
Sedangkan dusta, adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut. Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek pembicaraan yang kita lakukan. Dalam ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut, ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
 Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,
‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku? Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya. (HR. Muslim)

Dusta dan Ghibah Dalam pandangan Islam.
Baik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW: mengenai dusta, Dalam Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):
 ‘Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.’
Bahkan dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi oleh setiap mukmin. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
 “Dari Abu Bakrah RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Kami menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu, menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta… perkataan dusta dan persaksian dusta….’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.” (HR. Bukhari)
Ayat-ayat dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak. Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan dosa-dosa besar yang paling besar.
Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta, banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam (QS. 49: 12):
 ‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’
Dalam hadits, Rasulullah SAW bersabda:
 Dari Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda,
‘Sesungguhnya riba yang paling bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)
Kedua dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam ayat (QS. 49: 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang paling berat dan berbahaya. Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita sendiri? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT? Na’udzu billah min dzalik.

Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan Dusta
Meskipun demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk dusta dan ghibah.
1. Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
“Dari Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya (lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)
2. Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr. Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
1. Tadzalum.
Yaitu orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim, Allah SWT berfirman:
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran & mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, Rasulullah SAW bersabda,
‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
3. Meminta fatwa.   
Dalam salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW, suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa? Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)
 4. Peringatan terhadap keburukan atau bahaya. Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul wanita).” (HR. Muslim)
 5. Terhadap orang yang menampakkan kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi, mencuri, dan membunuh. 
 6. Untuk pengenalan.
Adakalanya seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj (pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan nama tersebut.
Kita yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan adalah dusta dan ghibah. Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?
dakwatuna.com