Ghibah dan dusta
merupakan dua hal, yang hampir-hampir menjadi fenomena dalam lingkup kehidupan
manusia. Seringkali, di manapun manusia berkumpul dan berbicara, tidak luput
dari dua hal ini, atau minimal dengan salah satunya. Jika kita perhatikan di
kantor, di pasar, di rumah, di kantin atau di manapun juga, baik laki-laki
maupun perempuan, senantiasa minimal ghibah (baca; membicarakan orang lain)
menjadi tema sentral pembicaraan mereka. Padahal, Allah SWT memerintahkan
kepada setiap insan untuk berkomunikasi dan berbicara dengan baik. Dalam
salah satu ayatnya Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu
kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (baik), niscaya Allah
memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan
barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat
kemenangan yang besar”.
Ayat
di atas menggambarkan kepada kita, adanya korelasi yang kuat antara keimanan
(baca; ketakwaan) dengan perkataan yang baik. Seseorang yang memiliki keimanan
yang baik, insya Allah secara otomatis akan berkomunikasi dan bertutur kata
yang baik. Sementara ghibah apalagi dusta termasuk dalam kategori perkataan
yang tidak baik. Bahkan dusta masuk dalam kategori dosa-dosa besar.
Adapun dari segi istilah, ghibah
adalah pembicaraan yang dilakukan seorang muslim
mengenai saudaranya sesama muslim lainnya dalam hal-hal yang bersifat keburukan
dan kejelekannya, atau hal-hal yang tidak disukainya.
Sedangkan dusta,
adalah kita membicarakan sesuatu yang terdapat dalam diri seseorang yang
sesungguhnya sesuatu itu tidak terdapat dalam diri saudara kita tersebut.
Sehingga dari sini, perbedaan antara ghibah dengan dusta terletak pada obyek
pembicaraan yang kita lakukan. Dalam
ghibah, yang kita bicarakan itu memang benar-benar ada dan melekat pada
diri orang yang menjadi obyek pembicaraan kita. Sedangkan dalam dusta, sesuatu yang kita bicarakan tersebut,
ternyata tidak terdapat pada diri seseorang yang kita bicarakan. Hal ini secara
jelas pernah digambarkan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya:
Dari
Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,
‘Tahukah kalian, apakah itu ghibah? Para sahabat menjawab, ‘Allah dan
rasul-Nya lebih mengetahui.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘engkau membicarakan
sesuatu yang terdapat dalam diri saudaramu mengenai sesuatu yang tidak dia
sukai. Salah seorang sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah SAW, bagaimana
pendapatmu jika yang aku bicarakan benar-benar ada pada diri saudaraku?
Rasulullah SAW menjawab, jika yang kau bicarakan ada pada diri saudaramu, maka
engkau sungguh telah mengghibahinya. Sedangkan jika yang engkau bicarakan tidak
terdapat pada diri saudaramu, maka engkau sungguh telah mendustakannya.
(HR. Muslim)
Dusta
dan Ghibah Dalam pandangan Islam.
Baik ghibah maupun dusta, sesungguhnya merupakan
perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW: mengenai dusta, Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 22: 30):
‘Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah
perkataan-perkataan dusta.’
Bahkan
dusta ini masuk dalam kategori dosa-dosa besar yang senantiasa harus dijauhi
oleh setiap mukmin. Dalam satu riwayat, Rasulullah SAW pernah mengatakan:
“Dari Abu Bakrah RA, Rasulullah SAW bersabda: ‘Maukah kalian aku
beritahu tentang dosa-dosa yang paling besar di antara dosa-dosa besar? Kami
menjawab, tentu wahai Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengatakan, ‘Yaitu,
menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua.’ Beliau berdiri, kemudian
duduk, lalu mengatakan lagi, ‘dan perkataan dusta serta persaksian dusta…
perkataan dusta dan persaksian dusta….’ Beliau terus mengucapkan itu, hingga
aku katakan bahwa beliau tidak berhenti mengucapkannya.”
(HR. Bukhari)
Ayat-ayat
dan hadits-hadits lainnya yang membicarakan masalah ghibah masih cukup banyak.
Namun dari kedua dalil di atas, kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa
dusta merupakan perbuatan tercela yang dilarang oleh Allah dan Rasulullah SAW.
Bahkan Rasulullah SAW secara langsung mengkategorikannya pada perbuatan
dosa-dosa besar yang paling besar.
Sedangkan mengenai ghibah, sebagaimana dusta,
banyak ayat-ayat maupun hadits-hadits yang melarangnya. Dalam Al-Qur’an, Allah
berfirman dalam (QS. 49: 12):
‘Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang
lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah
mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.’
Dalam
hadits, Rasulullah SAW bersabda:
Dari
Said bin Zaid RA, Rasulullah SAW bersabda,
‘Sesungguhnya riba yang paling
bahaya adalah berpanjang kalam dalam membicarakan (keburukan) seorang muslim
dengan (cara) yang tidak benar. (HR. Abu Daud)
Kedua
dalil di atas telah cukup menunjukkan kepada kita mengenai bahaya ghibah. Dalam
ayat (QS. 49: 12) Allah mengumpamakan ghibah seperti orang yang memakan daging
saudaranya sendiri yang telah meninggal. Sedangkan pada hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW mengumpamakannya dengan riba yang
paling berat dan berbahaya. Oleh karena itulah, bagi setiap muslim harus
berusaha secara maksimal untuk meninggalkan kedua penyakit lisan yang ternyata
sangat berbahaya ini. Kita dapat membayangkan, sekiranya setiap hari kita
diumpamakan seperti menyantap makanan yang terbuat dari daging saudara kita
sendiri? Selain itu kita juga diumpakan selalu berinteraksi dengan riba yang
paling berbahaya dan paling besar dosanya di sisi Allah SWT? Na’udzu billah min
dzalik.
Kondisi Diperbolehkannya Ghibah dan Dusta
Meskipun
demikian, memang ada beberapa kondisi tertentu di mana kita diperbolehkan untuk
dusta dan ghibah.
1.
Kondisi diperbolehkannya dusta
Dalam
hadits dijelaskan oleh Rasulullah SAW mengenai beberapa keadaan di mana
seseorang dihalalkan untuk berdusta, berdasarkan hadits berikut:
“Dari
Asma’ binti Yazid RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Dusta tidak diperkenankan
melainkan dalam tiga hal; seorang suami berbicara kepada istrinya agar istrinya
(lebih mencintainya), dusta dalam peperangan dan dusta untuk mendamaikan di
antara manusia (yang sedang bertikai)” (HR. Turmudzi)
2.
Kondisi diperbolehkannya ghibah
Dr.
Sayid Muhammad Nuh dalam Afat Ala al-Thariq (1996: III/ 52) mengungkapkan ada
enam hal, di mana seseorang diperbolehkan untuk ghibah, yaitu:
1. Tadzalum.
1. Tadzalum.
Yaitu
orang yang teraniaya, kemudian mengadukan derita yang diterimanya kepada hakim,
Allah SWT berfirman:
“Allah
tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terang kecuali oleh orang
yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
2.
Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran &
mengembalikan orang yang maksiat menjadi taat kepada Allah SWT, Rasulullah SAW
bersabda,
‘Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya
dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu
maka dengan hatinya. (HR. Muslim).
3.
Meminta fatwa.
Dalam
salah satu riwayat pernah digambarkan, bahwa Hindun binti Utbah (istri Abu
Sufyan) mengadu kepada Rasulullah SAW dan mengatakan, wahai Rasulullah SAW,
suamiku adalah seorang yang bakhil. Dia tidak memberikan padaku uang yang cukup
untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami, kecuali yang aku ambil dari
simpanannya dan dia tidak mengetahuinya. Apakah perbuatanku itu dosa?
Rasulullah SAW menjawab, ambillah darinya sesuatu yang dapat memenuhi
kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan cara yang baik (baca; ma’ruf)” (HR. Bukhari)
4.
Peringatan terhadap keburukan atau bahaya.
Seperti ketika Fatimah binti Qais RA datang kepada Rasulullah SAW dan memberitahukan
bahwa ada dua orang pemuda yang akan meminangnya, yaitu Muawiyah dan Abu Jahm.
Rasulullah SAW mengatakan, ‘Adapun Muawiyah, ia adalah seseorang yang sangat
miskin, sedangkan Abu Jahm, adalah seseorang yang ringan tangan (suka memukul
wanita).” (HR. Muslim)
5. Terhadap orang yang menampakkan
kefasikan & kemaksiatannya, seperti minum khamer, berzina, judi,
mencuri, dan membunuh.
6.
Untuk pengenalan.
Adakalanya
seseorang telah dikenal dengan julukan tertentu yang terkesan negatif, seperti
para periwayat hadits ada yang dikenal dengan sebutan A’masy (si rabun), A’raj
(pincang), Asham (tuli), A’ma (buta) dsb. Mereka semua sangat dikenal dengan
nama tersebut.
Kita
yakin bahwa setiap insan pasti pernah terjerumus dalam perbuatan maksiat. Dan
kemaksiatan yang paling mudah menjerumuskan setiap insan adalah maksiat mata
dan maksiat lisan. Dan di antara kemaksiatan lisan adalah dusta dan ghibah.
Padahal kedua kemaksiatan ini (ghibah dan dusta) adalah termasuk dalam kategori
dosa-dosa besar. Dusta, adalah dosa besar yang paling besar, yang disejajarkan
dengan syirik dan durhaka pada orang tua. Sementara ghibah Allah umpamakan
seperti memakan bangkai saudara kita sendiri yang telah mati. Atau seperti
orang yang melakukan riba yang paling berat dan berbahaya. Jadi betapa besarnya
dosa kita jika setiap hari kita ‘mengkonsumsi’ dusta dan ghibah?
dakwatuna.com