Kamis, 10 April 2014

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN



PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS

Oleh:  M.K. Arqom         
  ”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
            Betapa tidak, untuk memasukkan anaknya ke sekolah/madrasah sekalipun pada saat ini orangtua diharuskan terlebih dahulu membayar uang pangkal dan lain-lain. Berdalih untuk menseragamkan pakaianlah, agar tidak bersainglah, peningkatan kualias pendidikan dengan adanya LKS lah, dan macam-macam lainnya sekolah/madrasah mengharuskan orang tua calon siswa untuk membayar.
Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah/madrasah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati ceriahnya bangku sekolah/madrasah. Parahnya lagi ketika madrasah sudah mampu menutup mata atas kenyataan bahwa banyak masyarakat miskin yang membutuhkan pendidikan di madrasah hingga madrasah tidak lagi peduli dengan mereka.
            Begitulah kenyataan yang menjadi kalender tetap yang tersembunyi di balik kalender pendidikan nasional kita. Penggalan sedikit cerita itu menghadirkan beberapa pertanyaan, diantaranya adalah yang menjadikan pendidikan di sekolah/madrasah menjadi mahal itu memang biaya hidup sekarang itu mahal atau tenaga pendidiknya yang biaya hidupnya mahal hingga menuntut mereka untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan sekolah/madrasah sebagai mesin pencetak uang.
Kisah "mengharukan" dan "menakjubkan" di atas sepertinya memperjelas terminologi bahwa "orang miskin di negeri ini dilarang sekolah". Dari hari ke hari kaum miskin makin kehilangan hak-haknya yang telah dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar. Kian hari jumlah orang miskin kian bertambah.
            Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “ Sesuai keputusan Komite Sekolah ”.
Namun, pada tingkat implementasinya, justru ternyata tidak sedikit Komite Sekolah hanyalah sebagai pajangan belaka. Para tenaga pendidik selalu berkedok “hasil keputusan rapat komite” mengharuskan wali murid untuk membayar dengan sejumlah uang guna peningkatan mutu pendidikanlah, guna pembangunanlah dan macam lainnya.