PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN YANG
BERKUALITAS
Oleh: M.K. Arqom
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus
dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang
miskin tidak boleh sekolah.
Betapa tidak, untuk memasukkan anaknya ke sekolah/madrasah sekalipun pada saat
ini orangtua diharuskan terlebih dahulu membayar uang pangkal dan lain-lain. Berdalih
untuk menseragamkan pakaianlah, agar tidak bersainglah, peningkatan kualias
pendidikan dengan adanya LKS lah, dan macam-macam lainnya sekolah/madrasah
mengharuskan orang tua calon siswa untuk membayar.
Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah/madrasah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati ceriahnya bangku sekolah/madrasah. Parahnya lagi ketika madrasah sudah mampu menutup mata atas kenyataan bahwa banyak masyarakat miskin yang membutuhkan pendidikan di madrasah hingga madrasah tidak lagi peduli dengan mereka.
Begitu mahalnya biaya yang dibutuhkan, maka sekolah/madrasah akhirnya hanya bisa dimasuki mereka yang berduit semata, sedangkan mereka yang berekonomi lemah terpaksa harus gigit jari dan mata melotot melihat mereka yang menikmati ceriahnya bangku sekolah/madrasah. Parahnya lagi ketika madrasah sudah mampu menutup mata atas kenyataan bahwa banyak masyarakat miskin yang membutuhkan pendidikan di madrasah hingga madrasah tidak lagi peduli dengan mereka.
Begitulah kenyataan yang menjadi kalender tetap yang tersembunyi di balik
kalender pendidikan nasional kita. Penggalan sedikit cerita itu menghadirkan beberapa
pertanyaan, diantaranya adalah yang menjadikan pendidikan di sekolah/madrasah menjadi
mahal itu memang biaya hidup sekarang itu mahal atau tenaga pendidiknya yang
biaya hidupnya mahal hingga menuntut mereka untuk mencari tambahan dengan
memanfaatkan sekolah/madrasah sebagai mesin pencetak uang.

Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah atau Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “ Sesuai keputusan Komite Sekolah ”.
Namun, pada tingkat implementasinya, justru ternyata tidak sedikit Komite
Sekolah hanyalah sebagai pajangan belaka. Para tenaga pendidik selalu berkedok “hasil
keputusan rapat komite” mengharuskan wali murid untuk membayar dengan sejumlah
uang guna peningkatan mutu pendidikanlah, guna pembangunanlah dan macam
lainnya.